Kamis, 31 Mei 2012

ummadanti jataka

UMMADANTĪ-JĀTAKA111

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Rumah siapakah ini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyesal.
Ceritanya bermula pada suatu hari ketika sedang berpindapata di Savatthi, bhikkhu tersebut melihat seorang wanita yang cantik luar biasa, mengenakan pakaian dengan luar biasa indahnya, dan menjadi jatuh cinta kepadanya.
Sekembalinya ke wihara, ia tidak dapat mengalihkan pikirannya dari wanita tersebut. Mulai dari saat itu, seolah-olah seperti tertusuk panah cinta dan sakit karena nafsu indriawi, ia menjadi sangat kurus, seperti seekor rusa yang kebingungan, pucat pasi, urat nadi di sekujur tubuhnya tampak jelas, gelisah. Ia tidak lagi merasakan kebahagiaan dalam empat sikap tubuh112, tidak juga merasakan ketenangan dalam pikirannya sendiri, ia tidak lagi melakukan semua pelayanan yang seharusnya diberikan kepada seorang guru, tidak melakukan pengulasan, pertanyaan, meditasi, dan pelatihan.

Rekan-rekannya, sesama bhikkhu, berkata, “Āvuso, dahulu Anda tenang dalam pikiran dan berona muka jernih, tetapi sekarang tidak demikian. [210] Apa yang menjadi penyebabnya?” tanya mereka. “Āvuso,” jawabnya, “Saya tidak mendapatkan kebahagiaan lagi dalam apa pun.” Kemudian mereka menasihatinya untuk menjadi bahagia dengan berkata, “Untuk dilahirkan sebagai seorang Buddha adalah hal yang sulit, begitu juga halnya untuk dapat mendengarkan ajaran Buddha dan terlahir sebagai seorang manusia. Tetapi Anda telah terlahir sebagai manusia, dengan berkeinginan untuk mengakhiri penderitaan, Anda meninggalkan sanak keluarga yang menangis dan menjadi seorang pabbajita yang berkeyakinan. Kalau begitu mengapa sekarang Anda jatuh dalam kekuasaan kotoran batin? Kotoran-kotoran batin yang buruk ini biasa berada dalam diri makhluk dungu, pesalah, dan kesenangan-kesenangan indriawi yang demikian hanyalah berupa materi pada asalnya, mereka juga hambar. Kesenangan indriawi dipenuhi dengan penderitaan dan keburukan: Penderitaan, dalam hal ini, akan terus dan terus bertambah. Kesenangan indriawi adalah seperti sebuah rangka atau sepotong daging. Kesenangan indriawi adalah seperti api yang berasal dari tumpukan jerami atau rumput kering atau dari  kayu bakar. Kesenangan indriawi menghilang seperti sebuah mimpi atau benda pinjaman, atau buah dari pohon. Kesenangan indriawi menusuk seperti tombak yang tajam ujungnya atau seperti kepala seekor ular. Tetapi Anda, setelah memeluk suatu keyakinan yang mulia seperti ini dan menjadi seorang pabbajita, sekarang malah jatuh dalam kekuasaan kotoran batin yang demikian membahayakan.”
Ketika dengan nasihat, mereka tidak berhasil membuatnya memahami ajaran Buddha, mereka pun membawanya ke hadapan Sang Guru di dalam balai kebenaran. Dan ketika Beliau berkata, “Mengapa, Para Bhikkhu, kalian membawa bhikkhu ini di luar kemauannya?” mereka menjawab, “Bhante, ia adalah seorang bhikkhu yang menyesal.”
Sang Guru menanyakan apakah hal tersebut benar, dan setelah pengakuannya mengatakan itu benar, Sang Guru berkata, “Bhikkhu, orang bijak masa lampau, walaupun di saat memerintah sebuah kerajaan, kotoran batin muncul di dalam hati mereka, lewat di bawah kekuasaannya untuk satu kali, tetapi kemudian ia memperbaiki pikiran buruk mereka dan tidak melakukan kesalahan atas perbuatan yang tidak sepantasnya.”
Dan setelah mengucapkan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, di Kota Ariṭṭhapura di Kerajaan Sivi berkuasalah seorang raja yang bernama Sivi. Bodhisatta terlahir sebagai putra dari permaisurinya, dan mereka memberinya nama Pangeran Sivi. Panglima Raja juga mendapatkan seorang putra dan mereka memberinya nama Ahipāraka (Ahiparaka).
Kedua anak laki-laki tersebut tumbuh bersama sebagai teman dan pada usia enam belas, mereka pergi ke Takkasilā, kemudian kembali ke rumah setelah menyelesaikan pendidikan mereka.
Raja menyerahkan kerajaan kepada putranya, yang kemudian menunjuk Ahiparaka untuk menduduki jabatan Panglima, dan memerintah kerajaannya dengan benar.
Di dalam kota yang sama itu pula hiduplah seorang saudagar kaya bernama Tirīṭavaccha (Tiritavaccha), yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta, seorang putri yang rupawan dan ramah, memiliki peruntungan yang baik, yang di hari pemberian namanya, diberi nama Ummadantī (Ummadanti).
Ketika berusia enam belas tahun, ia tumbuh menjadi secantik bidadari kayangan, memiliki kecantikan yang luar biasa. Orang awam yang melihatnya tidak dapat menahan diri mereka, [211] melainkan akan dimabukkan oleh kotoran batin/nafsu (kilesa), seakan-akan mabuk oleh minuman keras, dan tidak mampu mengembalikan pengendalian diri mereka.
Jadi, ayahnya, Tiritavaccha, menjumpai raja dan berkata, “Paduka, di rumah saya memiliki permata berupa seorang putri, pasangan yang cocok bagi seorang raja. Utuslah para peramal yang dapat membaca peruntungan untuk menguji dirinya, kemudian jadikanlah ia sebagai istrimu.” Raja setuju dan mengutus para brahmananya, dan mereka berduyun-duyun pergi ke rumah saudagar tersebut, yang kemudian setelah disambut dengan kehormatan besar dan keramahtamahan, mereka makan nasi susu.
Pada waktu ini, Ummadanti muncul di hadapan mereka, mengenakan pakaian dengan luar biasa indahnya. Ketika melihat dirinya, mereka benar-benar kehilangan kendali, persis seperti dimabukkan oleh kotoran batin, dan lupa kalau mereka belum menghabiskan makanan mereka. Sebagian dari mereka mengambil sesuap nasi dan dengan berpikir untuk memakannya, mereka malah meletakkannya di atas kepala; Sebagian lagi menjatuhkan nasinya di paha mereka; Sebagian lainnya lagi melemparnya ke dinding. Semuanya berada di luar kendali mereka sendiri.
Ketika melihat mereka bertindak demikian, Ummadanti berkata, “Kata mereka, orang-orang ini akan menguji peruntunganku,” dan ia memerintahkan untuk membawa mereka dengan memegang bagian tengkuk leher dan mengusir mereka ke luar. Mereka pun merasa sangat kesal, dan kembali ke istana dalam kemarahan luar biasa kepada diri Ummadanti, dan berkata, “Paduka, wanita ini tidaklah cocok untukmu, ia adalah seorang wanita jalang.”
Raja berpikir, “Mereka memberitahuku, ia adalah seorang wanita jalang,” dan raja pun tidak memanggil dirinya. Ketika mendengar apa yang terjadi, Ummadanti berkata, “Saya tidak diperistri oleh raja karena mereka mengatakan bahwa saya adalah seorang wanita jalang. Wanita jalang sungguh-sungguh sama seperti diriku. Baiklah, jika saya bertemu dengan raja suatu hari nanti, saya akan tahu harus berbuat apa.” Demikian ia menaruh dendam kepada raja. Jadi ayahnya menikahkannya dengan Ahiparaka, dan ia pun menjadi kesayangan dan kebahagiaan dari suaminya.
Sebagai hasil dari perbuatan apakah dari dirinya sehingga ia menjadi demikian cantik saat ini? Adalah merupakan hasil dari pemberian sebuah kain berwarna merah. Dahulu, dikatakan, ia terlahir di dalam sebuah keluarga miskin di Benares dan pada suatu pesta, karena melihat beberapa wanita yang mengenakan pakaian berwarna merah dengan luar biasanya dihiasi dengan kasumba113 bersenang-senang, ia mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia juga ingin mengenakan kain yang sama dan bersenang-senang.
Dan ketika mereka berkata, “Anakku, kita ini adalah orang miskin, dari mana kami dapat memberikanmu kain yang demikian?” Ia berkata, “Baiklah kalau begitu, biarlah aku menderita untuk mendapatkan upah dalam sebuah rumah tangga orang kaya, dan di saat mereka akan menghargai jasaku, mereka akan memberikanku hadiah berupa kain.” [212] Dan setelah mendapatkan persetujuan orang tuanya, ia pergi menghampiri sebuah keluarga dan mengajukan kepada mereka untuk membiarkannya melayani mereka dengan imbalan sebuah kain merah.
Mereka berkata, “Setelah kamu bekerja selama tiga tahun untuk kami, kami baru akan menghargai jasamu dengan memberikanmu kain merah.” Ia langsung setuju dan memulai pekerjaannya. Untuk menghargai jasanya, meskipun waktu tiga tahun berlalu, mereka memberikan kepadanya kain berwarna merah dengan kasumba, dan juga pakaian lainnya, dan menyuruhnya pergi dengan berkata, “Pergilah bersama teman-temanmu, dan pakailah kain ini setelah selesai mandi.” Maka ia pergi bersama dengan teman-temannya dan mandi, dengan meletakkan kain merahnya itu di tepi sungai.
Pada waktu itu, seorang siswa dari Buddha Kassapa, yang pakaiannya dirampas dan sedang mengenakan dahan-dahan pohon lapuk untuk dijadikan sebagai jubah luar dan dalam, datang ke tempat tersebut. Ketika melihatnya, wanita itu berpikir, “Orang suci ini pasti telah dirampas pakaiannya. Dahulu saya  juga merasa sulit untuk mendapatkan kain karena tidak ada yang memberikannya kepada diriku,” dan ia memutuskan untuk membelah kainnya menjadi dua bagian dan memberikan satu bagian kepada orang suci itu.
Maka ia keluar dari dalam air, mengenakan pakaian lamanya dan berkata, “Tunggu, Bhante,” ia memberi hormat kepada sang Thera, mengoyak jubahnya menjadi dua bagian dan memberikan satu bagian kepadanya. Kemudian sang Thera berdiri di satu sisi pada suatu tempat yang tertutup, dan setelah membuang pakaian pohonnya, ia menjadikan satu sisi dari kain tersebut sebagai bagian dalam dan sisi yang lain sebagai bagian luar. Ia melangkah keluar ke tempat yang terbuka dan seluruh badannya bersinar oleh keindahan dari kain tersebut, seperti matahari yang baru terbit.
Ketika melihat ini, wantita tersebut berpikir, “Mulanya orang mulia ini tidak bersinar, tetapi sekarang ia bersinar seperti matahari yang baru terbit. Saya akan memberikan bagian yang ini juga kepadanya.” Maka ia memberikan kepadanya setengah bagian lagi dari kainnya tersebut, dan mengucapkan permohonan berikut, “Bhante, saya ingin sekali di kehidupan berikutnya memiliki kecantikan yang demikian luar biasa sehingga tidak ada seorang pun, yang melihat diriku, memiliki kekuatan untuk mengendalikan dirinya, dan tidak ada wanita lain yang lebih cantik dari diriku.” Sang Thera mengucapkan terima kasih kepadanya dan pergi melanjutkan perjalanannya.
Setelah satu masa kelahiran di alam dewa, kali ini wanita tersebut terlahir di Ariṭṭhapura, menjadi secantik seperti yang diuraikannya tadi. Sekarang, di kota ini orang-orang mengadakan Festival Kattika dan mereka menghias kota di malam bulan purnama. Ahiparaka, yang hendak berangkat menuju ke tempat yang harus dijaganya, berkata kepada istrinya sebagai berikut, [213] “Ummadanti terkasih, hari ini adalah Festival Kattika; dalam prosesi berkeliling kota, pertama sekali raja akan datang ke pintu rumah kita. Pastikan kamu tidak menampakkan dirimu kepadanya, karena bila ia melihatmu, ia tidak akan mampu mengendalikan dirinya.” Ketika suaminya hendak pergi, ia berkata kepadanya, “Saya akan memastikannya.”
Segera setelah suaminya pergi, ia memberikan perintah kepada pelayan wanitanya untuk memberitahu dirinya ketika raja datang di depan pintu. Maka di saat matahari terbenam, ketika bulan purnama telah muncul dan obor menyala terang di setiap penjuru kota yang dihias menjadi seperti kota para dewa, raja yang berpakaian dalam segala kebesarannya, yang menaiki sebuah kereta megah yang ditarik oleh kuda-kuda terbaik dan dikawal oleh pasukan kerajaan, berkeliling kota dengan rombongan yang besar, datang terlebih dahulu ke pintu rumah Ahiparaka. Rumah itu yang dipagari oleh dinding yang berwarna jingga kemerah-merahan, dilengkapi dengan gerbang dan menara, adalah suatu tempat yang indah dan menawan hati.
Pada waktu ini, pelayan wanita tersebut memberitahukan kepada majikannya tentang kedatangan raja, dan Ummadanti memintanya untuk membawakan bunga satu keranjang. Dengan berdiri di dekat jendela, ia melemparkan bunga-bunga tersebut kepada raja dengan gaya seorang kinnara (peri). Ketika melihat ke atas ke arah wanita tersebut, raja dimabukkan oleh kotoran batin (kilesa), tidak mampu mengendalikan pikirannya sendiri dan tidak mengenali bahwa itu adalah rumah milik Ahiparaka. Maka dengan menyapa penunggang kereta kudanya, ia mengucapkan dua bait kalimat berikut dalam bentuk sebuah pertanyaan:
Rumah siapakah ini, Sunanda, beritahu saya yang benar,
yang di sekelilingnya terdapat dinding yang berwarna keemasan?
Penglihatan indah apakah ini, bercahaya terang seperti meteor,
atau seperti sinar matahari yang keluar bersinar dari ketinggian sebuah gunung?
Mungkin ia adalah seorang putri dari rumah itu,
atau mungkin ia sendiri adalah empunya, atau istri dari putra siapakah dirinya?
Berikanlah jawabanmu dengan cepat dalam satu kata—
apakah ia belum menikah atau masih memiliki seorang suami?
[214] Kemudian untuk menjawab raja, ia mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
Semua yang ditanyakan oleh Yang Mulia saya tahu jawaban lengkapnya dengan baik;
Mengenai orang tuanya, dari dua belah pihak dapat saya beritahukan:
Suaminya, siang dan malam, wahai raja,
melayanimu dalam segala hal dengan semangat.
Ia adalah seorang pejabat kerajaanmu yang kuat,
Ia memiliki kekayaan yang banyak dan kemakmuran yang besar;
Wanita itu adalah istri dari Ahiparaka yang terkenal,
dan di saat kelahirannya diberikan nama Ummadantī.
Ketika mendengar ini, raja mengucapkan satu bait kalimat berikutnya untuk memuji nama dari wanita tersebut:
Betapa menakjubkan sebuah nama di sini,
yang diberikan kepada wanita cantik ini oleh orang tuanya;
Sejak Ummadanti memusatkan pandangannya kepadaku,
saya pun telah menjadi pesakit yang selalu dibayangi.
Ketika melihat betapa tidak terkendalinya diri raja, wanita itu menutup jendelanya dan langsung pergi menuju ke kamar indahnya. Dan mulai dari saat melihatnya, raja tidak lagi memiliki pemikiran untuk melakukan prosesi berkeliling kota. Menyapa penunggang keretanya, raja berkata, “Teman Sunanda, hentikan keretanya; [215] ini bukanlah sebuah festival yang cocok bagi kita, ini hanya cocok bagi Ahiparaka, Panglimaku, dan takhta kerajaan lebih cocok diberikan kepadanya,” dan setelah menghentikan keretanya, raja naik ke istananya dan berbaring di dipan kerajaannya sambil mengoceh, ia berkata:
Seorang putri secantik bunga teratai putih,
dengan mata selembut mata rusa,
dalam cahaya bulan purnama, muncul di hadapanku;
Melihatnya mengenakan busana berwarna merah,
terlintas di pikiranku terdapat dua bulan yang muncul bersamaan.
Melihat sekilas dengan kedua matanya yang terang nan indah,
sang penggoda telah membuatku terpaku,
seperti kimpurisa yang berada pada ketinggian sebuah gunung di dalam hutan,
gerakan anggunnya telah menawan hatiku.
Putri itu begitu cantik dan tinggi, dengan hiasan permata di kedua telinganya,
seperti seekor rusa yang malu-malu, ia muncul.
Dengan rambut panjang yang ikal dan kuku yang semuanya diberi warna merah,
dari kedua lengan lembutnya tersebar aroma cendana,
jari-jari tangan yang lancip, dan lingkungan yang menyenangkan,
Kapakankah ia akan tersenyum kepadaku, pemikatku yang cantik?
Putri berpinggang ramping yang mengenakan busana dari Tirīṭa114,
perhiasan emas yang terpampang di dadanya;
Bilakah ia, seperti tumbuhan menjalar pada suatu pohon di dalam hutan,
dengan kedua lengan lembutnya itu, merangkulku?
Ia yang dihiasi oleh lak (warna merah) demikian cerahnya,
Putri teratai putih, dengan dada yang mengembang;
Bilakah ia, seperti sebuah gelas oleh sang peminum, menciumku?
Begitu diriku melihatnya demikian berdiri,
demikian anggunnya terlihat penampilannya, tak dapat kukendalikan diriku ini,
saya tak lagi menginginkan yang lain.
Ketika melihat Ummadantī, dengan terangnya kilauan anting-anting permata,
seperti seseorang yang dihukum dengan beratnya,
saya tidak dapat tidur, baik siang maupun malam.
[216] Jika Sakka mengabulkan harapanku, dengan cepat kukatakan
bahwa harapanku adalah dapat menjadi Ahiparaka selama satu malam
atau menjadi kembarannya dan demikian hidup bersama Ummadantī,
sedangkan ia sendiri menjadi penguasa Sivi.
Kemudian pejabat kerajaan berkata kepada Ahiparaka, “Tuan, sewaktu berkeliling kota, raja pergi melewati pintu rumahmu [217] dan sekembalinya dari sana, raja langsung naik ke istananya.” Maka Ahiparaka pulang ke rumah dan berkata kepada Ummadanti dengan menanyakan apakah ia menampakkan dirinya kepada raja. “Tuanku,” katanya, “seseorang yang memiliki perut seperti pot dengan gigi yang besar, berdiri di atas kereta kudanya, datang ke sini tadi. Saya tidak tahu apakah ia adalah seorang raja atau pangeran, tetapi saya diberitahukan bahwa ia adalah seorang pembesar, dan dengan berdiri di jendela terbuka, saya melemparkan bunga padanya. Setelah itu, ia berbalik dan pergi.”
Ketika mendengar ini, Ahiparaka berkata, “Kamu telah menghancurkanku,” dan Keesokan paginya, ia pergi ke kediaman raja, berdiri di pintu kamar kerajaan dan mendengar raja mengigau tentang Ummadanti, ia pun berpikir, “Raja telah jatuh cinta kepada Ummadanti. Jika ia tidak mendapatkannya, ia akan mati. Adalah kewajibanku untuk mengembalikan hidupnya jika hal itu dapat dilakukan tanpa keburukan baik di pihak raja maupun diriku.” Maka ia pulang kembali dan memanggil seorang pelayan pribadi yang kuat dan jahat, dan berkata, “Teman, di tempat anu terdapat sebuah pohon berlubang yang merupakan tempat pemujaan keramat.
Tanpa mengatakan apa pun kepada siapa pun, pergilah ke sana di saat matahari terbenam dan duduklah di dalam pohon tersebut. Kemudian saya akan datang dan memberikan persembahan di sana, dan sewaktu memuja para makhluk dewata, saya akan mengucapkan permohonan ini; ‘Wahai raja dewa, di saat berlangsungnya satu festival, tanpa ikut serta di dalamnya, raja kami pergi ke kamar kerajaannya dan berbaring sambil mengoceh tak karuan. Kami tidak tahu mengapa ia melakukan hal demikian. Raja sebelumnya merupakan seorang dermawan yang besar bagi para makhluk dewata, tahun demi tahun ia menghabiskan ribuan keping uang untuk persembahan. Beritahu kami mengapa raja berbicara dengan demikian ngawurnya dan kabulkanlah permohonan kami untuk kehidupan raja.’
Demikianlah saya akan mengucapkan permohonan, dan di saat itu kamu harus ingat untuk mengucapkan kata-kata berikut ini, ‘Wahai panglima, rajamu tidaklah sakit, tetapi ia tergila-gila kepada istrimu, Ummadanti. Jika raja mendapatkannya, ia akan hidup; kalau tidak, ia akan mati. Jika Anda menginginkan ia hidup, berikanlah Ummadanti kepadanya.’ Inilah yang harus Anda katakan.” Dan setelah demikian mengajarinya, ia menyuruhnya pergi. Maka keesokan harinya, pelayan itu pergi dan duduk di dalam pohon tersebut dan ketika panglima datang dan mengucapkan permohonannya, ia mengulangi pelajarannya.
Panglima berkata, “Baiklah,” dan setelah memberi hormat dengan membungkukkan badan kepada dewata tersebut, ia pergi untuk memberitahu para pejabat kerajaan. Setelah memasuki kota, ia naik ke istana dan mengetuk pintu kamar raja. [218] Raja yang terbangun, menanyakan siapa gerangan itu. “Ini saya, Ahiparaka, Paduka.” Kemudian ia membuka pintu kamar raja dan masuk ke dalam sambil memberikan hormat kepadanya dan mengucapkan satu bait kalimat berikut:
Sewaktu berlutut di tempat pemujaan, wahai raja,
sesosok yaksa datang dan memberitahu saya satu hal yang aneh,
tentang bagaimana Ummadanti telah memperbudak keinginanmu:
Ambillah dirinya dan demikian penuhilah keinginan hatimu.
Kemudian raja bertanya, “Teman Ahiparaka, apakah bahkan yaksa tahu bahwa saya berbicara dengan bodohnya dikarenakan diriku yang terganggu oleh Ummadanti?” “Ya, Paduka,” jawabnya. Raja berpikir, “Keburukanku telah diketahui seluruh dunia,” dan ia merasa malu. Dan untuk tetap berdiri dalam kebenaran, ia mengucapkan bait berikutnya:
Dengan jauh dari kebajikan, saya tidak akan mendapatkan kedewaan,
dan seluruh dunia akan mendengar tentang keburukanku yang besar:
Pikirkan juga betapa besarnya penderitaanmu
jika kamu tidak lagi melihat Ummadanti nantinya.
Bait-bait berikutnya ini diucapkan oleh mereka berdua secara bergantian:
Selain Anda dan saya, wahai raja, tak ada seorangpun di dunia ini
yang akan mengetahui perbuatan yang akan dilakukan:
Ummadanti adalah pemberianku kepadamu,
Setelah keinginanmu terpuaskan, kembalikan ia padaku.
Si manusia pelaku kejahatan berpikir,
‘Tidak ada orang yang menjadi saksi dari perbuatan burukku,’
[219] tetapi semua yang dilakukannya akan diketahui
oleh para makhluk suci dan makhluk halus (bhutā ).
Siapa di dunia ini, seandainya kamu mengatakan,
‘Saya tidak mencintainya,’ yang akan memercayai itu?
Pikirkan juga betapa besarnya penderitaanmu
jika kamu tidak lagi melihat Ummadanti nantinya.
Yang Mulia, bagiku ia sama berharganya seperti kehidupan,
sesungguhnya ia adalah seorang istri yang sangat kucinta;
Walaupun demikian, Paduka, segeralah pergi kepada Ummadanti,
seperti seekor singa menuju sarangnya.
Orang bijak yang demikian tertekan oleh penderitaannya sendiri,
tidak akan tidak melakukan perbuatan yang memberikannya kebahagiaan,
bahkan orang dungu yang dimabukkan oleh kebahagiaan,
tidak akan pernah merasa bersalah atas perbuatan buruk seperti ini.
Raja, Anda seperti orang tua yang membesarkanku,
saya berhutang padamu, seperti suami dan majikan,
juga seperti sesosok dewa bagiku;
Saya, istri dan anakku adalah hambamu, pelayanmu, wahai Raja Sivi,
lakukanlah sesuka hatimu terhadap kami.
Barang siapa yang melakukan perbuatan buruk terhadap orang lain,
dengan tidak menyesal berkata, “Lihat saya ini adalah seorang penguasa,’
tidak akan pernah dapat menjalani kehidupannya dengan tenang,
dan para dewa akan mengecam perbuatannya itu.
Jika orang yang berjalan dalam kebenaran menerima sesuatu
sebagai pemberian yang diberikan secara cuma-cuma oleh orang lain,
maka, wahai raja, mereka yang menerima dan mereka yang memberi
telah melakukan suatu perbuatan yang akan menghasilkan buah kebahagiaan.
Siapa di dunia ini, seandainya kamu mengatakan,
‘Saya tidak mencintainya,’ yang akan memercayai itu?
[220] Pikirkan juga betapa besarnya penderitaanmu
jika kamu tidak lagi melihat Ummadanti nantinya.
Yang Mulia, bagiku ia sama berharganya seperti kehidupan,
sesungguhnya ia adalah seorang istri yang sangat kucinta;
Ummadanti adalah pemberianku kepadamu,
Setelah keinginanmu terpuaskan, kembalikan ia padaku.
Ia yang menghilangkan penderitaan dirinya
dengan menimbulkan penderitaan bagi yang lain, yang berbahagia
meskipun kebahagiaan yang lain hilang, Bukanlah orang demikian,
melainkan ia yang merasakan penderitaan orang lain seperti penderitaannya sendiri,
yang mampu memahami kebenaran sejati.
Yang Mulia, bagiku ia sama berharganya seperti kehidupan,
sesungguhnya ia adalah seorang istri yang sangat kucinta;
Saya memberikan apa yang sangat berharga bagiku,
bukan memberikannya dengan sia-sia, mereka yang demikian memberi,
akan mendapatkan buah yang berlimpah di kemudian hari.
Saya mungkin menghancurkan diriku sendiri karena nafsu kesenangan indriawi,
tetapi saya tidak akan pernah berani menghancurkan
yang benar dengan menggunakan yang salah.
Jika Anda, wahai kesatria agung, terhalang oleh sumpah cinta karena ia adalah istriku,
maka saya nyatakan mulai saat ini, ia telah kuceraikan dan menjadi bebas,
untuk menjadi hambamu yang mematuhi perintah dan ucapanmu.
Jika kamu, pejabat kerajaanku, menderita kerugian
dengan membuang istrimu; meskipun tidak bersalah,
kamu akan memiliki beban kesalahan berat yang harus dipikul
dan tidak pernah ada seorangpun yang mengatakan itu benar.
Atas segala beban yang demikian, Raja, saya akan mengatasinya,
atas celaan, pujian, atau apa pun itu namanya, biarlah itu menimpaku, Sivi,
sesukanya. Lakukan saja dan penuhi keinginanmu.
[221] Ia yang tidak mengindahkan harga diri atau kesalahan,
atas pujian atau celaan tidak peduli sama sekali, maka dari dirinya
kemuliaan dan keberuntungan akan terbang pergi, seperti banjir
yang telah reda, hanya meninggalkan hamparan tanah dan kekeringan.
Kebahagiaan atau penderitaan apa pun yang mungkin muncul dari itu,
melampaui yang benar, atau cocok dengan hati seseorang atas usahanya,
saya akan menyambutnya, baik itu menggembirakan maupun menyedihkan,
seperti bumi yang menghadapi semuanya, yang baik ataupun yang buruk.
Saya tidak ingin mendapatkan penderitaan lain dari perbuatan salah,
saya akan menanggung beban penderitaanku sendiri, kukuh dalam kebenaran,
tidak mengganggu kedamaian yang lain.
Perbuatan bajik akan menuntun ke alam surga,
semoga Anda tidak menjadi rintangan bagi perbuatan demikian;
Saya mengirimkan Ummadanti sebagai pemberian,
seperti raja yang menghabiskan banyak harta bagi para brahmana.
Sesungguhnya kepadaku, kamu telah menunjukkan kebaikan yang besar,
saya memiliki kamu dan istrimu sebagai temanku;
Para dewa dan brahma akan menyalahkanku,
dan kutukan akan menimpaku selamanya.
Semuanya, penduduk kota dan desa dalam hal ini tidak akan pernah,
wahai Raja Sivi, mengatakan dirimu tidak benar, karena Ummadanti
adalah pemberianku kepadamu, setelah keinginanmu terpuaskan,
kembalikan ia padaku.
Sesungguhnya kepadaku, kamu telah menunjukkan kebaikan yang besar,
saya memiliki kamu dan istrimu sebagai temanku;
Tindakan benar orang yang baik terkenal di mana-mana,
adalah sulit untuk menutupi yang benar, seperti arus air laut.
Pemimpin yang dipuja, yang menunggu untuk mengabulkan
apa pun yang kuminta, Dermawan yang [222] baik hati, Anda membayar kembali
sebanyak tujuh kali lipat semua yang saya persembahkan kepadamu;
Ambillah Ummadanti, ia adalah pemberianku kepadamu secara cuma-cuma.
Pejabat Kerajaanku, Ahiparaka, sesungguhnya, kamu telah menjalankan kebenaran,
bahkan sejak usia muda; Siapa lagi diantara orang-orang di sekitarku,
yang akan pada setiap awal dan akhir berusaha membuatku
melakukan perbuatan bajik?
Wahai kesatria agung, Anda adalah orang terkenal yang tiada bandingannya,
bijak, mengetahui kebenaran dan berjalan di jalan yang benar,
bertamengkan kebenaran, semoga Anda, wahai raja, panjang umur;
Dan Raja yang benar, ajarilah diriku untuk menghindari kesalahan.
Mari, dengarkan, Ahiparaka, kata-kataku ini, dan kemudian
aku akan mengajarkanmu jalan kebenaran seperti yang dipraktikkan
oleh orang yang berjalan dalam kebenaran.
Seorang raja yang berbahagia dalam kebenaran adalah yang terberkati,
dan dari semua orang, seseorang yang terpelajar adalah yang terbaik,
Tidak pernah mengkhianati seorang teman adalah perbuatan yang baik,
tetapi menjauhkan diri dari perbuatan buruk adalah kebahagiaan sempurna.
Di bawah kekuasaan raja yang benar, seperti terlindung oleh tempat teduh
dari sengatan sinar matahari, rakyatnya hidup dalam kedamaian,
bergembira dalam peningkatan kekayaan mereka.
Tidak ada perbuatan buruk yang akan mendapatkan persetujuan dariku,
betapa kecil pun itu tetap adalah suatu keburukan (kesalahan):
Kesalahan demikian tidak kusukai, tidak sesuai pengetahuan;
Dengarkanlah perumpamaanku, dengarkan dan camkan.
Sapi yang mengambil jalan yang berliku-liku melewati banjir115,
maka kawanan sapinya semua akan berserakan dalam penjagaannya (di belakang).
Jadi jika seorang pemimpin berjalan di jalan yang berliku-liku,
maka ia akan menuntun pengikutnya yang kacau balau itu ke jalan tak berujung,
dan dalam satu masa itu akan menyesali tak adanya pengendalian diri.
Akan tetapi jika sapi itu mengambil jalan yang lurus, maka kawanan sapinya
akan tetap lurus mengikutinya di belakang;
Demikian jugalah seharusnya seorang pemimpin bertindak benar dalam cara yang benar pula,
pengikutnya juga akan menjauhkan diri dari ketidakbenaran,
dan di seluruh kerajaan akan terdapat kedamaian.
[223] Saya tidak akan mencapai alam surga dengan perbuatan yang tidak benar,
Tidak, tidak, Ahiparaka, meskipun saya mendapatkan seisi dunia ini.
Hal berharga apa pun yang dianggap baik oleh manusia, sapi, budak dan emas,
pakaian dan kayu cendana, kuda betina, harta kekayaan yang berlimpah,
permata yang berkilauan, dan semuanya yang dijaga oleh matahari dan bulan
pada siang dan malam hari,  tidak untuk semua hal ini saya akan berbuat tidak benar,
saya terlahir di antara para rakyat Sivi, seorang pemimpin yang benar.
Ayah, pemimpin dan pelindung tanah (kerajaan) kami, s
eperti pemenang dari kebenarannya, saya berjalan di dalamnya;
Demikian saya akan memerintah dengan benar, tidak akan tunduk terhadap kehendak pribadiku.
Pemerintahanmu baik, raja agung, semoga Anda tetap,
dalam jangka waktu yang lama, dapat menuntun kerajaan ini
dengan kebahagiaan dan dalam kebijaksanaanmu yang tinggi.
Kebahagiaan yang besar adalah milik kami, wahai raja,
Anda telah menunjukkan semangat dalam kebenaran yang demikian;
Kesatria mulia, bila dahulu memerintah dengan mengabaikan kebenaran,
pastinya telah kehilangan mahkota sekarang.
Kepada orang tuamu, raja kesatria,
berikanlah perlakuan adil (bertindaklah dengan benar) 116;
Dengan menjalani kehidupan demikian yang benar,
raja, akan masuk ke alam surga.
Kepada anak dan istri, raja kesatria,
bertindaklah dengan benar;
Dengan menjalani kehidupan demikian yang benar,
raja,  akan masuk ke alam surga.
Kepada teman dan pejabat istana, raja kesatria,
bertindaklah dengan benar;
Dengan menjalani kehidupan demikian yang benar,
raja, akan masuk ke alam surga.
Dalam peperangan (permusuhan) dan persahabatan,
raja kesatria, bertindaklah dengan benar;
Dengan menjalani kehidupan demikian yang benar,
raja, akan masuk ke alam surga.
Di daerah perkotaan dan pedesaan,
raja kesatria, bertindaklah dengan benar;
Dengan menjalani kehidupan demikian yang benar,
raja, akan masuk ke alam surga.
Di seluruh pelosok kerajaan,
wahai raja, bertindaklah dengan benar;
Dengan menjalani kehidupan demikian yang benar,
raja, akan masuk ke alam surga.
Kepada semua brahmana dan petapa,
bertindaklah dengan benar;
Dengan menjalani kehidupan demikian yang benar,
raja, akan masuk ke alam surga.
Kepada hewan (liar) dan yang bersayap (burung),
wahai raja kesatria, bertindaklah dengan benar;
Dengan menjalani kehidupan demikian yang benar,
raja, akan masuk ke alam surga.
Bertindaklah dengan benar, wahai raja kesatria,
dari semuanya ini akan menghasilkan berkah (kebahagiaan);
Dengan menjalani kehidupan demikian yang benar,
raja, akan masuk ke alam surga.
Dengan kewaspadaan (ketidaklalaian),
wahai raja, berada dalam jalan kebenaran:
Dengan cara demikianlah para brahma, Dewa Indra, dan para dewa lainnya
mendapatkan kedudukan mereka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar