Selasa, 22 Mei 2012

13 praktik pertapaan bhikkhu dhutanga



« on: 18 July 2010, 11:14:49 PM »
Asal mula

Jauh sebelum Buddha muncul di dunia ini, terdapat latihan pertapaan yang dirancang dengan menyiksa tubuh dalam berbagai macam cara. Mereka yang menjalankannya percaya bahwa mereka akan terbebas dari penderitaan sebagai makhluk hidup. Di sisi lain, yang lain percaya bahwa tujuan tertinggi dari suatu keberadaan adalah terletak pada mengetahui bagaimana untuk menikmati kehidupan sepenuhnya dan memusatkan seluruh usaha mereka dalam menikmati kesenangan indria.




Dari awal mula ajaran-Nya, Buddha menolak dengan pasti kedua jalan ini yang beliau nilai sebagai «jalan ekstrem». Dalam ajaran-Nya, beliau menjelaskan bahwa hanya jalan yang moderat, «jalan tengah», yang dapat membimbing kita pada pengembangan kebijaksanaan dan pengetahuan benar tentang realita. Kedua jalan ekstrem ini mengembangkan, bagi mereka, kemelekatan dan pandangan salah, yang bertentangan dengan jalan moderat yang dapat mengurangi kemelekatan dan mengembangkan pandangan benar.

Perilaku hidup yang diterapkan oleh Bhagava untuk para bhikkhu dan bhikkhuni (patimokkha), untuk samanera (10 sila) dan untuk umat awam (5 atau 8 sila) adalah panduan cukup bagi siapa pun yang dengan baik sekali melatih dalam satipatthana. Bagi mereka yang ingin lebih cepat atau mudah untuk mencapai Nibbana, beliau juga mengajarkan satu set latihan pertapaan yang mana tidak wajib (13 aturan dhutanga yang tidak termasuk ke dalam vinaya), yang memungkinkan untuk mengurangi kebutuhan seseorang hingga sesedikit mungkin, sehingga melindungi , orang yang mempraktikkan latihan ini, dari kesombongan, keserakahan, kemalasan yang merupakan racun-racun utama dalam jalan pembebasan (hanya dengan berlatih dhutanga tertentu dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat benar-benar mengerti fakta ini; hasil yang mengesankan).

Dhutanga tidak dirancang bagi makhluk yang tinggi, maupun makhluk yang rendah. Latihan ini bermanfaat bagi mereka yang melatihnya. Dhutanga bukanlah latihan yang ekstrem; ini hanyalah latihan yang memungkinkan pikiran untuk dimurnikan dengan cepat dan mudah, prasyarat mutlak bagi pengembangan perhatian dan konsentrasi. Hal tersebut mengurangi rintangan yang tidak berguna, misalnya ketamakan akan makanan, sejumlah pakaian yang harus dirawat, kekacauan di tempat tinggal, dan berbagai macam kemelekatan lainnya. Dengan menjalankan latihan ini dengan baik, tidak ada dhutanga yang menimbulkan kelelahan dan tekanan pada tubah atau pikiran. Jika dhutanga melibatkan kesulitan besar atau usaha sulit pada seseorang, maka sebaiknya ia tidak melatihnya, sebagaimana hal ini akan menjadi latihan ekstrem bagi dirinya.

Setiap orang bebas, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya, untuk melatih satu atau beberapa praktik dhutanga, yang masing-masing meliputi tiga tingkat pembatasan. Tujuan dari latihan-latihan ini terletak pada menyediakan lingkungan yang memungkinkan untuk melakukan hidup pertapaan.

Dengan demikian, 13 dhutanga, yang berarti “pelepasan” [meninggalkan (dhuta); keadaan batin (anga)], merupakan satu paket latihan yang dirancang untuk benar-benar mengurangi kemelekatan kita, dengan tujuan untuk mencapai Nibbana dengan segera, seperti burung yang melintasi langit tak berawan pada garis lurus.


13 dhutanga

Terdapat tiga belas latihan petapa: dua latihan untuk jubah, lima latihan untuk makanan, lima latihan untuk tempat tinggal, dan satu latihan untuk postur (yang dikenal dengan usaha dhutanga). Untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan rinci mengenai dhutanga, klik pada masing-masing definisi  yang tertampil di bawah ini:

1.   Pamsukula: jubah yang ditinggalkan [menggunakan kain yang ditemukan di jalan sebagai bahan untuk membuat jubah]
2.   Tecivarika: tiga jubah [hanya menggunakan tiga jubah bhikkhu sebagai pakaian]
3.   Pindapatta: pengumpulan dengan mangkuk/patta seseorang [hanya makan apa yang diperoleh dari pindapata keliling, apakah itu banyak atau sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali]
4.   Sapadanacarika: pengumpulan makanan tanpa melewati satu rumah pun [jika bhikkhu memperoleh makanan lezat dari rumah tertentu saat pindapata keliling, ia menghindari rumah itu di masa depan]
5.   Ekasanika: makan sekali saja [makan hanya di satu tempat dan tidak makan sedikit di satu tempat dan lalu makan lagi di tempat yang lain]
6.   Pattapinika: semua makanan dalam 1 mangkuk/patta [hanya makan dalam ukuran tertentu, melihat kesalahan dalam memanjakan selera]
7.   Khalupacchabhattika: tidak menerima makanan tambahan apa pun lagi setelah mulai makan
8.   Aranyika: tinggal di hutan [tidak tinggal di desa atau kuil yang berisik. Dimaksudkan untuk membantu meditasi, karena sangat sulit untuk bermeditasi di tempat yang berisik]
9.   Rukkhamula: tinggal di bawah pohon [tidak tinggal di bawah atap]
10.   Abbhokasika: tinggal di alam terbuka tanpa pelindung
11.   Susanika: tinggal di pekuburan
12.   Yathasantatika: tidur di tempat yang telah diperuntukkan baginya
13.   Nesajjika: menghindari sikap berbaring
Lima macam motivasi

Untuk melatih dhutanga, terdapat beberapa macam motivasi. Beberapa orang dapat melatih salah satu dari latihan tersebut untuk suatu tujuan yang buruk, dalam tujuan  mengumpulkan kebanggaan dalam diri mereka sendiri, sedangkan yang lain melatih salah satu dari latihan ini untuk suatu tujuan yang murni, dengan tujuan menyembuhkan diri mereka sendiri dari kekotoran batin (kilesa), sama seperti keadaan pikiran seseorang yang meminum obat.  Berikut adalah lima macam motivasi yang dapat kita bedakan di antara mereka yang melatih salah satu atau lebih dhutanga:

1.   Karena ketidaktahuan sama sekali, bahkan tanpa mengetahui keuntungan mereka:  hanya karena telah mendengar bahwa para pelaksana dhutanga adalah cukup terkenal dan dalam hal ini dapat mengatakan “sayalah, saya melatih dhutanga”, dll.

2.   Untuk memperoleh keuntungan dengan mengembangkan keserakahan, misalnya: untuk memperoleh banyak pemberian, untuk dianggap baik oleh orang lain, untuk menimbulkan suatu pemujaan yang luar biasa dari orang lain, untuk menarik murid bagi seseorang, dll.

3.   Karena kegilaan, karena ketidaktahuan sama sekali, tanpa penyelidikan mengenai hal apa pun.

4.   Karena Buddha dan Para Ariya memuji latihan semacam itu.

5.   Untuk memperoleh manfaat dengan keuntungan yang sehat, misalnya: kapasitas untuk berpuas diri dengan yang sangat sedikit, kelemahan terpaut pada keserakahan, kemudahan dalam memperoleh hal-hal yang dibutuhkan, ketenangan, ketidakmelekatan, dll.

Buddha tidak menyetujui tiga motivasi pertama di atas, beliau hanya menyetujui dua motivasi terakhir. Seseorang boleh kemudian melatih salah satu atau beberapa dhutanga jika dia termotivasi menurut motivasi ke empat dan ke lima diantara lima macam motivasi di atas. Meskipun demikian, dhutanga memiliki manfaat yang lebih tinggi jika hal tersebut dilatih menurut motivasi ke lima, daripada motivasi yang ke empat.


Lima faktor yang sebaiknya dikembangkan oleh seorang pelaksana dhutanga

Seorang pelaksana dhutanga yang sedang berada pada posisi melakukan latihan-latihan itu (ia berada dalam keadaan kesehatan yang baik, dll), yang jujur dan yang memiliki Nibbana sebagai akhir tujuan, adalah berharga untuk dipuja oleh para Brahma, dewa dan manusia.

Ini adalah lima faktor yang sebaiknya dikembangkan oleh masing-masing pelaksana dhutanga:
1. Tanpa keserakahan.
2. Mengetahui bagaimana untuk merasa puas dengan yang sangat sedikit.
3. Benar-benar ingin menghancurkan kilesa.
4. Tetap tinggal di suatu tempat tenang.
5. Tidak ada lagi keinginan mengenai keberadaan apa pun dalam dunia dan kondisi apa pun (dengan kata lain, menginginkan Parinibanna).

Faktor pertama adalah menaklukkan keserakahan. Hal tersebut berperan dalam menghancurkan  keinginan-keinginan indria. Kekuatan yang merupakan yang terakhir dari faktor-faktor ini adalah objek yang dapat ditumbuhkan dengan menggunakan kebijaksanaan (panna).

Melalui alobha, kita melenyapkan praktik yang mengembangkan keinginan indria (kámasukhalliká nuyoga), dan melalui amoha, kita menghilangkan seluruh praktik yang menindas tubuh (attakilamathá nuyoga).

Buddha memuji mereka yang melaksanakan dhutanga dengan mengembangkan secara penuh kelima faktor yang telah disebutkan di atas.

Menurut kitab komentar lainnya, faktor-faktor yang perlu dilatih dalam dhutanga adalah:
1. saddha, keyakinan, kepercayaan diri.
2. hirima, takut atau malu untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat.
3. dhitima, tenang, terkendali, dan berkonsentrasi pada perilaku diri.
4. akuha, ketidaktertarikan terhadap ketenaran (karena sesuatu yang kurang baik), kemasyhuran, perhatian pada kepentingan orang lain.
5. atthavasi, perealisasian dhamma sebagai tujuan unik.
6. alobha, ketidakserakahan.
7. sikkhakama, berbudi luhur secara alami dan konstan.
8. ahasamadana, mencegah diri dari melalaikan salah satu dari latihan-latihan ini.
9. anujjhanabahula, tidak mengkritik orang lain, bahkan jika mereka bersalah.
10. mettavihari,  secara konstan penuh dengan rasa kasih (kebajikan).

Seorang praktisi serius dhutanga harus berakar dengan baik sekali ke dalam salah satu dari sepuluh faktor ini. Seorang praktisi yang mengetahui bagaimana untuk berketetapan pada faktor-faktor ini berada dalam posisi untuk mencapai Nibbana.

Elemen-elemen yang sebaiknya dihindari:
1. papiccha, menginginkan hal-hal yang tidak sehat/tidak baik.
2. icchapakata, menekan pikiran seseorang melalui keinginan-keinginan.
3. kuhaka, mencoba untuk menarik perhatian dari orang lain.
4. luddha, iri hati, keinginan besar (untuk memiliki sesuatu)
5. odarika, secara kasar memikirkan makanan orang lain.
6. labhakama, ingin terlibat dalam beberapa persoalan.
7. yasakama, ingin memiliki banyak murid, ingin dipuja oleh banyak orang.
8. kittikama, ingin terkenal (dikarenakan sesuatu yang kurang baik), ketenaran yang luar biasa.

Jika seorang bhikkhu melatih dhutanga berdasarkan salah satu atau beberapa dari delapan poin ini, ia tentu akan menjadi subjek kritik dan tidak dihormati. Ia bahkan berisiko mengalami kecacatan pada kehidupan berikutnya, seperti buruk rupa, cacat fisik, kekurangan anggota gerak, jika tidak terlahir di alam neraka. Itulah mengapa seseorang harus berjuang mengembangkan faktor yg diperlukan dan menghindari faktor yang merugikan.

Prosedur mengadopsi dhutanga

Untuk mengambil dhutanga yang seseorang ingin latih, prospek ideal terletak pada melaksanakannya di hadapan Buddha.

Jika Buddha jauh atau tidak ada lagi, ini sangat bermanfaat untuk mengambil dhutanga di hadapan Aggasavaka (sebutan yang diberikan pada dua murid mulia Buddha).

Jika aggasavaka jauh atau tidak ada lagi, kita bisa melakukannya di hadapan Mahasavaka (sebutan yang diberikan pada 80 murid utama Buddha).

Jika Mahasavaka jauh dan tidak ada lagi, kita bisa melakukannya di hadapan Arahanta.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Arahanta, kita dapat melakukannya di hadapan Anagami.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Anagami, kita dapat melakukannya di hadapan Sakadagami.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Sakadagami, kita dapat melakukannya di hadapan Sotapana.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Sotapana, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui satu dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui satu dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui salah satu bab dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui salah satu bab dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara baik disyairkan dalam Atthakathas (Komentar).

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara baik disyairkan dalam Atthakathas (Komentar), kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang berlatih dhutanga.

Jika tidak ada seorang pun yang hadir, kita dapat melakukannya di depan cetiya.

Lebih baik melaksanakan satu atau beberapa latihan dhutanga di hadapan seseorang yang memiliki karakter sila yang murni. Hal ini akan mendorong kita untuk menjadi lebih baik dalam menjaga latihan dhutanga dan menghindari untuk melanggarnya. Namun, jika seseorang ingin mengadopsi dhutanga di luar pengakuan oleh siapa pun, adalah memungkinkan untuk melaksanakan semuanya sendirian. Beberapa bhikkhu lagipula memutuskan untuk tidak membiarkan siapa pun tahu mengenai latihan mereka, sehingga secara kokoh menetapkan dalam dirinya sendiri sebuah tekad untuk tidak melatih dhutanga yang didorong oleh motivasi yang tidak sehat.

Pada zaman dahulu, seorang bhikkhu melatih dhutanga yang terdiri dari makan hanya sekali dalam sehari (ekasanika) selama empat puluh tahun, tanpa siapa pun yang mengetahui akan hal tersebut. Suatu hari, seseorang melihatnya sedang menghabiskan makanannya, berdiri dan beralih untuk menempatkan dirinya di tempat lain. Pada saat yang khusus, orang tersebut menawarkannya sepotong kue. Saat Yang Mulia itu secara sopan menolaknya, si pemberi kue menebak alasannya, mengatakan secara keras: “Anda berlatih dhutanga ekasanika!” Dikarenakan untuk tidak berkata bohong dan tidak memperlihatkan latihannya, bhikkhu itu memilih untuk tidak melanggarnya dengan cara menerima dan memakan potongan kue ini. Sesegera setelah beliau telah mencerna kue tersebut, beliau kembali mengambil dhutanga

Dhutanga yang dilatih berdasarkan status

Sendirian, seorang bhikkhu dapat melatih 13 dhutanga. Bhikkhuni hanya dapat berlatih 8 di antaranya, samanera hanya dapat berlatih 12, samaneri hanya dapat berlatih 7, dan umat awam hanya dapat berlatih 2, bahkan 9, karena status atau kedisiplinan mereka tidak memungkinkan mereka untuk melaksanakan yang lain.


Bhikkhu

Seorang bhikkhu dapat melaksanakan yang mana pun dari ketiga belas dhutanga tersebut. Bahkan jika seorang bhikkhu menghendakinya, ia dapat berlatih keseluruhan 13 dhutanga tersebut sekaligus. Untuk hal tersebut, yang terbaik adalah menempati kuburan secara sendirian yang mana pada saat yang sama juga memiliki karakteristik tempat hutan—jauh dari daerah yang dihuni—dan dari tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan. Meskipun demikian, ia juga dapat tinggal di hutan selama tiga malam pertama, di suatu tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan selama tiga malam ke dua, dan di kuburan yang tanpa karakteristik khusus untuk tempat hutan dan tanpa tempat berlindung selama tiga malam terakhir.

Kita mungkin bertanya-tanya bagaimana melatih di saat bersamaan dhutanga yang mengharuskan tinggal di bawah sebuah pohon (rukkhamula) dan dhutanga yang mengharuskan tinggal di tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan (abbhokasika). Meskipun penerjemahan kata-kata "berdiam di bawah sebuah pohon", ide utama dhutanga rukkhamula adalah tidak mengambil sebuah pohon, namun lebih pada meninggalkan kenyamanan materi—yang mungkin menimbulkan kemalasan—dan terhadap segala kewajiban pemeliharaan yang harus dilakukan karena berada di dalam kompleks bangunan. Jadi, dhutanga abbhokasika termasuk dhutanga rukkhamula. Pada hari yang sama, dhutanga yang terdiri dari menjauhi bertempat tinggal dalam sebuah kompleks bangunan (rukkhamula) dan dhutanga yang terdiri dari meninggalkan tempat-tempat yang tersedia dengan tumbuh-tumbuhan dan tempat berlindung (abbhokasika) tidak mencegah seseorang dari berlatih dhutanga yang berbaring menempati "di dalam hutan" (araññika), karena hal ini lalu tidak mengadopsi sebuah biara yang terletak di dalam hutan. Maksud sebenarnya hanya memang terletak pada menempati tempat yang jauh dari daerah yang berpenghuni, tempat tinggal seorang petapa, tempat terisolasi. Sebaliknya, adalah memungkinkan untuk mempraktikkan dhutanga abbhokásika atau dhutanga rukkhamúla tanpa mempraktikkan dhutanga áraññika, misalnya, dengan tinggal di bawah sebuah pohon yang terletak di daerah yang berpenghuni.


Bhikkhuni

Kedelapan dhutanga yang dapat dilatih oleh bhikkhuni adalah: pamsukula, tecivarika, pindapatta, sapadanacari, ekasanika, pattapinika, yathasantatika, dan nesajjika.

Dhutanga khalupacchabhattika tidak terpakai lagi bagi para bhikkhuni, karena vinaya mereka melarang mereka untuk menolak makanan yang sedang disajikan kepada mereka, bahkan setelah memulai untuk makan (berdasarkan pavarito, lihat pacittiya 35). Mereka tidak dapat melatih dhutanga arannika karena vinaya mereka melarang mereka untuk berdiam di tempat yang terisolasi, tanpa seorang bhikkhu biara yang dekat lokasinya (berdasarkan peraturan ohiyana). Berkenaan dengan dhutanga rukkhamula, abbhokasika, dan susanika, Buddha tidak memberikan otorisasi pada mereka untuk mengambilnya, karena sebagai wanita, latihan-latihan ini terlalu sulit dan berbahaya. Lagipula, seorang bhikkhuni tidak dapat berjalan sendirian di luar kompleks kebiaraan. Seandainya bahwa hal tersebut diizinkan bagi seorang bhikkhuni untuk mendiami suatu tempat yang jauh dari bhikkhu biara, ditemani oleh bhikkhuni lainnya, ia akan kesulitan dalam menemukan bhikkhuni lainnya yang setuju untuk melatih dhutanga yang sama bersama-sama dengannya, tanpa menunjuk pada kenyataan bahwa tujuan utama dhutanga terletak pada melatihnya dalam kesendirian.


Samanera

Samanera dapat berlatih 12 dhutanga; semua dengan mengesampingkan praktik yang terletak pada membatasi diri pada tiga jubah (tecívarika), sebagaimana, berbanding terbalik dengan para bhikkhu dan bhikkhuní, mereka tidak memiliki jubah ganda pemberian. Memang, tidak ada sesuatu hal apa pun yang mencegah samanera dari pelatihan hingga pemanfaatan jumlah yang sangat terbatas dalam hal jubah, selendang (syal), atau selimut. Namun, ini tidak akan menjadi objek dari tecívarika dhutanga.


Sikkhamana dan Samaneri

Ketujuh dhutanga yang dapat dilatih oleh sikkhamana dan samaneri adalah: pamsukula, pindapatta, sapadanacari, ekasanika, pattapinika, yathasantatika, dan nesajjika.

Mereka tidak dapat melatih khalupacchabhattika, áraññika, rukkhamula, abbhokasika, dan susanika dhutanga, dan untuk alasan yang sama sebagaimana bhikkhuní tidak dapat melatihnya, dan berkenaan dengan dhutanga tecívarika, untuk alasan yang sama sebagaimana sámanera tidak dapat melatihnya.


Umat awam

Kedua dhutanga yang kaum awam—termasuk biarawati—mampu melatihnya adalah: ekásanika (makan sekali sehari) dan pattapinika (mengambil makanan seseorang dengan alat penerima tunggal). Namun, seorang umat awam yang benar-benar cenderung kepada praktik penolakan, kemurnian pikiran, dan pada keyakinan yang besar ke dalam Dhamma, dapat, mengikuti contoh para bhikkhu, melaksanakan dua dhutanga ekstra yang disebutkan di atas, dhutanga khalupacchábhattika, áraññika, rukkhamúla, abbhokásika, susánika, yathásantatika, dan nesajjika, yang meningkatkan jumlah dhutanga hingga sembilan.

Namun, umat awam tidak bisa mempraktikkan empat dhutanga pertama, karena mereka tidak memakai jubah monastik apa pun dan tidak mendapatkan makanan mereka melalui sebuah mangkuk.


Para Ariya dan dhutanga

Para Ariya adalah makhluk yang pasti berlatih dhutanga dalam kehidupan ini atau dalam kelahiran kembali sebelumnya. Agar memiliki páramí yang cukup matang untuk realisasi Dhamma, pelatihan dhutanga adalah tidak terelakan. Untuk alasan ini, kita dapat mengatakan bahwa "praktik dhutanga adalah jalan para Ariyá". Dhutanga bahkan termasuk sebuah latihan yang secara khusus menguntungkan untuk perealisasian Nibbana, mengingat fakta bahwa mereka menawarkan kondisi terbaik untuk pelatihan ke dalam delapan magganga—dasar dari satipathana (jalan yang memimpin pada Nibbana)—di satu sisi, dan untuk pelepasan dari seluruh rintangan untuk latihan ini di sisi lain.

Memang terdapat banyak bhikkhu yang terkenal untuk praktik dhutanga mereka. Di antara lainnya, pada masa Buddha, berkenaan dengan praktik dhutanga áraññika dan pamsukula, Yang Mulia Maha Kassapa yang secara khusus terkenal (disamping diakui oleh Buddha sebagai pelaksana terbaik dari 13 dhutanga dari sasana-Nya); kemudian yang terkenal khususnya untuk ketaatan pelaksanaan dhutanga áraññika: Yang Mulia Revata (di hutan Khariravaniya), Yang Mulia Tissa, dan Yang Mulia Nágita; yang terkenal karena ketaatan dhutanga yang dihubungkan dengan abstensi dan konsumsi makanan: Yang Mulia Mitta; yang secara khusus terkenal karena ketaatan dari dhutanga nesajjika: Yang Mulia Sáriputtará, Yang Mulia Moggalána, Yang Mulia Cakkhupála, dll.

Para Arahat ini—seperti semua Arahat yang mempraktikkan dhutanga—tidak melalui kesulitan dalam praktik tersebut demi kepentingan mereka sendiri, karena mereka tidak lagi memiliki apa pun untuk diperoleh bagi diri mereka sendiri (seorang arahat memiliki, menurut definisi, tidak ada lagi ambisi, maupun motivasi). Mereka telah mempraktikkan dhutanga dengan satu-satunya tujuan positif membuat contoh, mendorong untuk ketaatan terhadap praktik mulia ini bagi para bhikkhu lain yang melihat mereka atau akan datang untuk mendengarkan tentang mereka.

Semua Buddha juga telah mempraktikkan dhutanga dalam cara yang luar biasa, pada satu atau beberapa momen keberadaan terakhir mereka. Dengan demikian, orang bijaksana, meniru Buddha, mempraktikkan satu atau beberapa dhutanga ini.

Quote
1.   Pamsukula:
meninggalkan jubah-jubah
=> jubah yang ditinggalkan

Quote

Prosedur mengadopsi dhutanga


Untuk mengambil dhutanga yang seseorang ingin latih, prospek ideal terletak pada melaksanakannya

sebelum adanya
di hadapan Buddha.

Jika Buddha jauh atau tidak ada lagi, ini sangat bermanfaat untuk mengambil dhutanga sebelum adanyadi hadapan Aggasavaka (sebutan yang diberikan pada dua murid mulia Buddha).

Jika aggasavaka jauh atau tidak ada lagi, kita bisa melakukannya sebelum adanyadi hadapan Mahasavaka (sebutan yang diberikan pada 80 murid utama Buddha).

Jika Mahasavaka jauh dan tidak ada lagi, kita bisa melakukannya sebelum adanyadi hadapan Arahanta.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan Arahanta, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan Anagami.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan Anagami, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan Sakadagami.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan Sakadagami, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan Sotapana.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan Sotapana, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui satu dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui satu dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui salah satu bab dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui salah satu bab dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara baik disyairkan dalam Atthakathas (Komentar).

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara baik disyairkan dalam Atthakathas (Komentar), kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang berlatih dhutanga.

Jika tidak ada seorang pun yang hadir, kita dapat melakukannya di depan cetiya.

Lebih baik melaksanakan satu atau beberapa latihan dhutanga sebelum adanyadi hadapan seseorang yang memiliki karakter sila yang murni. Hal ini akan mendorong kita untuk menjadi lebih baik dalam menjaga latihan dhutanga dan menghindari untuk melanggarnya. Namun, jika seseorang ingin mengadopsi dhutanga di luar pengakuan oleh siapa pun, adalah memungkinkan untuk melaksanakan semuanya sendirian. Beberapa bhikkhu lagipula memutuskan untuk tidak membiarkan siapa pun tahu mengenai latihan mereka, sehingga secara kokoh menetapkan dalam dirinya sendiri sebuah tekad untuk tidak melatih dhutanga yang didorong oleh motivasi yang tidak sehat.

Pada zaman dahulu, seorang bhikkhu melatih dhutanga yang terdiri dari makan hanya sekali dalam sehari (ekasanika) selama empat puluh tahun, tanpa siapa pun yang mengetahui akan hal tersebut. Suatu hari, seseorang melihatnya sedang menghabiskan makanannya, berdiri dan beralih untuk menempatkan dirinya di tempat lain. Pada saat yang khusus, orang tersebut menawarkannya sepotong kue. Saat Yang Mulia itu secara sopan menolaknya, si pemberi kue menebak alasannya, mengatakan secara keras: “Anda berlatih dhutanga ekasanika!” Dikarenakan untuk tidak berkata bohong dan tidak memperlihatkan latihannya, bhikkhu itu memilih untuk tidak melanggarnya dengan cara menerima dan memakan potongan kue ini. Sesegera setelah beliau telah mencerna kue tersebut, beliau kembali mengambil dhutanga ini.

~ Praktik Dhutanga ~

Ācariya Man sangat yakin bahwa ketekunan dalam praktik dhutanga sungguh-sungguh menunjukkan semangat cara hidup petapa. Ia sangat teguh mematuhi praktik petapa ini sepanjang hidupnya, dan selalu mendorong para bhikkhu yang belajar di bawah bimbingannya untuk mencontohnya dalam praktik mereka masing-masing. Berpindapatta setiap hari, kecuali pada hari-hari yang disengaja untuk berpuasa.

Ācariya Man mengajarkan kepada siswanya, ketika berjalan menuju desa untuk pindapatta, mereka harus selalu sati dan selalu mengendalikan tubuh, ucapan, dan pikiran. Seorang bhikkhu selayaknya tidak pernah membiarkan pikirannya menjadi korban berbagai perasaan menggiurkan terhadap objek hasil tangkapan mata, telinga, hidung, lidah, badan, atau pikiran ketika berjalan ke dan dari desa untuk berpindapatta. Ia menegaskan agar sati dihadirkan dalam setiap gerak, pikiran, dalam setiap langkah perjalanan, dibawah kewaspadaan yang sangat cermat. Hal ini agar dijadikan tugas suci yang membutuhkan perenungan dengan keseriusan tinggi setiap kali seorang bhikkhu bersiap-siap untuk pergi pindapatta di pagi hari.



Di bagian akhir dari pembahasan "tinggal di kuburan" diceritakan tentang seorang bhikkhu yang takut pada hantu. Saya tidak copas karena kisahnya cukup panjang yaitu sekitar 7 halaman. Tapi karena cukup bagus, saya ceritakan saja secara singkat.

Pada suatu hari seorang bhikkhu dhutanga mendatangi sebuah desa yang belum pernah ia datangi. Penduduk desa menunjuk sebuah hutan yang cocok untuk bermeditasi, tapi mereka tidak memberitahukan bahwa lokasinya adalah berdekatan dengan tempat kremasi jenazah.

Hari pertama berlalu dengan lancar. Namun keesokan harinya ia mulai gelisah ketika melihat peti jenazah diusung di hadapannya. Ia takut akan gambaran peti mati yang mungkin menghantuinya di malam hari atau ia mungkin "mau tidak mau" harus melihat jenazah yang terbakar. Lama-kelamaan ia menjadi sangat ketakutan dan sulit beristirahat di malam itu.

Saat bermeditasi, ia sangat sulit berkonsentrasi. Setiap kali memejamkan mata, muncul bayangan hantu. Ia menjadi panik. Tapi ia mempunyai perhatian yang cukup untuk merenungkan: "Ketakutan, Hantu – semuanya itu mungkin hanyalah khayalan. Kemungkinan besar bayangan-bayangan menakutkan ini adalah ciptaan pikiranku sendiri." Lalu mengingatkan dirinya: Orang di mana-mana memuji  keberanian luar biasa para bhikku dhutanga, akan tetapi saya di sini tanpa malu takut pada hantu. Saya bertingkah laku seperti seorang yang gagal, sepertinya saya ditahbiskan tetapi hanya untuk hidup dengan rasa takut pada hantu dan jin tanpa alasan apa pun. Saya telah memalukan sesama bhikku dalam tradisi dhutanga. Saya tidak layak untuk dikagumi oleh orang-orang yang memercayai bahwa kami pejuang mulia yang tidak takut apa pun. Bagaimana bisa saya membiarkan ini terjadi?

Setelah itu ia memaksakan diri untuk menghadapi ketakutannya dengan pergi ke tempat jenazah yang sedang terbakar. Jantungnya berdebar dan ia mulai berkeringat. Setelah duduk dan mulai bermeditasi tentang kematian, ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Sesaat derap langkah itu berhenti, lalu perlahan-lahan terdengar lagi seperti seseorang yang hendak menyerangnya dari belakang. Saat ini ketakutannya mencapai puncak. Ia telah mempertimbangkan untuk lari dan berteriak. Tapi dia masih bertahan.

Dia mendengar suara aneh – seperti seseorang yang sedang mengunyah, keras dan renyah. Ia membayangkan: "Apa yang sedang dikunyahnya? Selanjutnya, ia akan mengunyah kepala saya! Hantu kejam ini tentu ingin mengakhiri hidup saya." Ia memutuskan untuk membuka mata dan melihat sumber suara itu. Jika keadaan sangat menakutkan, ia telah siap untuk lari. Ia berpikir: "Lari dari kematian sekarang", ia beralasan, "akan memberiku kesempatan untuk melanjutkan latihan nantinya,dengan ketekunan yang baru, daripada saya tidak memperoleh apa apa dengan mengorbankan nyawa kepada hantu ini."

Saat ia melihat ke arah sumber suara, ia melihat seekor anjing kampung sedang memakan sisa makanan persembahan kepada arwah yang merupakan bagian dari tradisi setempat. Dan anjing itu sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada bhikkhu yang sedang ketakutan itu. Bhikkhu itu menertawakan kebodohannya sendiri, dan memutuskan untuk tinggal di sana hingga dia berhasil menakklukkan rasa takut.

Lalu ia merenungkan tipu muslihat yang bercampur aduk dalam pikirannya:

“Meski sudah sekian lama bekerja, kali ini pertama kalinya mereka membawa saya begitu dekat dengan malapetaka. Dhamma mengajarkan kita bahwa saññā adalah ahli dalam muslihat,  tetapi hingga sekarang saya belum pernah memahami dengan jelas maksudnya. Hanya sekarang, setelah merasakan dan mengalami sendiri rasa pahitnya, saya dapat mengerti arti sebenarnya: ketakutan saya tidak lebih dari tipu muslihat saññā. Mulai saat ini, saññā tidak akan pernah lagi menipu saya seperti di waktu lalu. Saya harus tetap tinggal di sini di kuburan ini hingga ‘ahli tipu muslihat’ lenyap dan terkubur, sehingga hantu menyeramkan itu tidak akan lagi menakuti saya di kemudian hari. Hanya setelah itu baru saya bersedia meninggalkan tempat ini. Sekarang giliranku untuk menyiksa hingga mati tipu muslihat yang begitu cerdik ini, lalu membakar mayatnya seperti mayat yang baru saja saya lihat dikremasi di sini. Menghadapi hembusan keras dari tipuan berbahaya saññā – ini adalah satu-satunya hal yang paling mendesak dalam hidup saya saat ini.”


Note: saññā berarti persepsi (salah satu dari 5 kelompok unsur kehidupan. Empat lainnya adalah rupa (jasmani), vedana (perasaan), kesadaran (vinnana), dan sankhara (bentukan-bentukan kehendak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar