Sejarah
Perkembangan Agama Buddha
Benarkah
agama Buddha mengalami perkembangan?
Dhamma adalah abadi, namun corak agama Buddha tidak luput dari penyesuaian. Pada kenyataannya saat ini kita bisa menemukan berbagai corak agama Buddha. Dengan menyadari adanya pengaruh dimensi waktu dan dimensi ruang, maka yang mestinya diutamakan dari agama Buddha adalah semangat Dhamma-nya dan bukan bentuk luar-nya. Perlu dibedakan antara: (1) Dhamma; (2) doktrin dan metode; (3) budaya. Ketiga unsur ini yang membentuk corak agama Buddha.
Dhamma adalah abadi, namun corak agama Buddha tidak luput dari penyesuaian. Pada kenyataannya saat ini kita bisa menemukan berbagai corak agama Buddha. Dengan menyadari adanya pengaruh dimensi waktu dan dimensi ruang, maka yang mestinya diutamakan dari agama Buddha adalah semangat Dhamma-nya dan bukan bentuk luar-nya. Perlu dibedakan antara: (1) Dhamma; (2) doktrin dan metode; (3) budaya. Ketiga unsur ini yang membentuk corak agama Buddha.
Dr. Edward Conze dalam bukunya "A Short History of Buddhism" menyatakan, "Agama Buddha merupakan fenomena yang membuat jengkel para pakar sejarah modern, bukan hanya karena fakta-fakta sejarahnya, tetapi juga karena doktrin-doktrinnya". Yang bertentangan bisa disatukan, bukan memilih salah satu. Maka kemudian ditemukan faktor-faktor unmum agama Buddha, yaitu:
1. Sangha (vinaya relatif sama)
2. Meditasi
3. Satu tujuan yang sama: Nirvana/Nibbana
4. Perkembangan baru terjadi sebagai kelanjutan yang lama, bukan pembaharuan tetapi adaptasi yang halus dari yang ada.
Bagaimana Perkembangan Agama Buddha?
Agama Buddha pada mulanya sederhana, namun dalam perkembangannya tidak lagi demikian. Hal ini tidak lepas dari "tekanan" umat awam, kepada siapa para bhikkhu "bergantung" baik untuk memperoleh empat kebutuhan pokok maupun untuk menjalankan misi pelestarian dan pembabaran Dhamma. Perlu dicatat bahwa umat awam tersebut pada umumnya hanya mampu mengikuti ajaran yang berupa jalan ke Surga, bukan jalan pembebasan untuk merealisasikan Nirvana.
Dari buku yang mengisahkan riwayat hidup Buddha Gotama, dapat kita ketahui bahwa pelayanan keagamaan yang diberikan pada masa itu titik beratnya adalah penumbuhan kebijaksanaan melalui pelatihan meditasi, khotbah, dan dialog. Dalam beberapa kesempatan, Sang Buddha juga mempertunjukkan kekuatan gaibnya untuk menimbulkan keyakinan dan membuka jalan pengajaran. Di samping pancaran kasih sayang dan kebijaksanaan, Beliau juga memberikan keteladanan dalam tindakan, antara lain dengan merawat bhikkhu yang sakit. Bentuk pelayanan keagamaan lainnya pada masa itu adalah sejumlah paritta untuk perlindungan/keselamatan.
Setelah Sang Buddha parinibbana, kita mengenal adanya periode Theravada, periode Mahayana, dan periode Tantrayana (dan Ch'an). Menurut Dr. Edward Conze dalam bukunya "A Short History of Buddhism" masing-masing berlangsung lima ratus tahun. Pada periode Theravada, orang suci yang ideal adalah Arahat atau orang yang tidak mempunyai keterikatan, nafsu telah padam, dan ia tak akan dilahirkan kembali di dunia ini. Pada periode Mahayana, orang suci yang ideal adalah Bodhisatva atau orang yang ingin menyelamatkan semua makhluk dan berharap pada akhirnya ia menjadi Samyaksambuddha. Pada periode Tantrayana, orang suci yang ideal adalah Siddha atau orang yang sangat harmonis dengan alam sehingga ia mampu dengan bebas menggunakan kekuatan alam baik di dalam maupun di luar dirinya.
Sudah tentu figur orang suci yang ideal pada setiap periode ada kaitannya dengan perkembangan pelayanan keagamaan. Namun satu hal yang sangat menonjol adalah berkembangnya aspek bhakti di kalangan umat Buddha yang antara lain ditandai dengan kehadiran Buddharupang di samping stupa. Berbagai upacara pun muncul sebagai bentuk pelayanan keagamaan. Upacara-upacara tersebut akan bermanfaat jika dilakukan dengan semangat yang tepat, sebab dapat membantu menumbulkan dan mempertahankan keyakinan kita untuk mengukuti jalan Sang Buddha.
Catatan Singkat Sejarah Perkembangan Agama Buddha
Segera setelah Buddha Gautama parinibbana, 500 murid yang telah menjadi Arahat berhimpun menyelenggarakan Konsili I di Rajagaha. Konsili yang didukung oleh Raja Ajatasattu dari Magadha ini mengumpulkan semua ajaran Buddha, dikelompokkan atas Sutta dan Vinaya, secara sistematis.
Seabad kemudian dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali diselenggarakan Konsili II yang diikuti 700 Arahat. Ketika itu terbentuk dua kelompok, yaitu Sthaviravada yang mempertahankan pelaksanaan peraturan secara kaku dan Mahasanghika yang mengijinkan penghapusan peraturan yang dianggap tidak penting.
Konsili II diadakan di Pataliputta di bawah pemerintahan Raja Asoka (247 SM), tidak berhasil melenyapkan perbedaan aliran, tetapi berhasil menghimpun Abhidhamma. Aliran yang didukung Raja Asoka adalah Vibhajyavada.
Konsili IV diadakan di Jalandhara di bawah dukungan Raja Kaniska (Abad I), yang menyusun komentar-komentar terhadap Tripitaka. Aliran yang dominan adalah Sarvastivada, aliran yang menggunakan bahasa Sansekerta. Seribu tahun setelah Konsili IV agama Buddha tumbuh subur di India. Para cendekiawan memberikan kontribusi terhadap filsafat Mahayana. Maha Bodhisatva-Maha Bodhisatva menjadi populer melalui tradisi Vajrayana.
Menurut catatan Sri Lanka, Konsili IV di Jalndhara tidak diikuti oleh aliran Theravada. Catatan sejarah dari aliran Theravada menyatakan bahwa Konsili V diadakan di Mandalay, Burma (1871) dan berhasil memahatkan Tipitaka Pali secara lengkap pada 729 lempengan marmer. Konsili VI yang juga dihadiri Bhikkhu-Bhikkhu barat diselenggarakan di Rangoon, Burma, dimulai pada hari Waisak tahun 1954 dan berakhir tepat sebelum hari Waisak tahun 1956.
Agama Buddha masuk Sri Lanka pada abad III SM melalui Bhikkhu Mahinda (putra Raja Asoka) dan kemudian sangat populer. Pada abad V M Buddhagosa memberikan kontribusi besar bagi literatur Theravada. Setelah sempat tertidur pada masa penjajahan, agama Buddha bangkit kembali pada akhir abad XIX.
Agama Buddha masuk Cina dari Asia Tengah pada abad I SM, mula-mula dianggap asing dan baru tahun 335 bangsa Cina diperbolehkan menjadi bhiksu. Namun pada tahun 400, 1200 naskah telah diterjemahkan. Abad VII agama Buddha telah menjadi bagian yang penting dari kebudayaan Cina. Agama Buddha masuk Korea melalui Cina pada abad IV. Setelah suatu masa dengan pengaruh besar, sempat terhenti dan baru bangkut kembali awal abad XX. Agama Buddha masuk Jepang melalui Korea abad VI. Kemudian bhiksu-bhiksu Jepang belajar ke Cina. PAda periode Kamakura, sejumlah sekte berkembang dan sangat populer. Meski abad-abad akhir tidak didukung pemerintah, tetap merupakan kekuatan yang penting dalam kebudayaan Jepang.
Agama Buddha masuk Asia Tenggara melalui para pedagang dan misionaris India. Ketiga tradisi (Theravada, Mahayana, dan Vajrayana) berkembang pada waktu yang sama atau berbeda di tempat-tempat yang berlainan. Monumen agung seperti Borobudur di Indonesia dan Angkor Wat di Kamboja merupakan bukti. Agama Buddha Theravada terus berkembang di Burma dan Thailand.
Agama Buddha masuk Tibet pada abad VII. Pada abad-abad selanjutnya guru-guru India menyebarkannya di sana dan terus berkembang subur berkat para guru agung Tibet. Pada tahun-tahun belakangan banyak orang Tibet membawa agama Buddha Vajrayana ke barat dan India. Agama Buddha masuk Mongolia dari Tibet pada abad XIII.
Penjajahan membawa Eropa bertemu dengan agama Buddha di Asia. Kitab-kitab agama Buddha di bawa ke Eropa untuk dipelajari. Pada awal abad XX, sejumlah orang Eropa mulai menjalankan ajaran agama Buddha dan sejumlah organisasi didirikan untuk tujuan itu. Saat ini, pengkajian dan pengamalan ajaran Buddha terus berkembang di berbagai negara di Eropa.
Agama Buddha mulai dipelajari di Amerika pada abad XIX. Imigran Cina dan Jepang membawa tradisi-tradisi Buddhis yang berlainan ke Amerika. PAda akhir abad XIX sejumlah misionari Buddhis berangkat ke Amerika. Saat ini minat masyarakat dan kalangan akademi terus berkembang subur. Semua tradisi utama terdapat di sini.
Dengan makin sempitnya dunia sebagai akibat arus globalisasi, saling hubungan antar aliran semakin terjadi dan perkembangan agama Buddha pun memasuki kerjasama internasional. Pada tahun 1950 di kota Kolombo, Sri Lanka terbentuk World Fellowship of Buddhists (WBSC) yang juga dimaksudkan untuk menyatukan pandangan dari berbagai aliran agama Buddha yang tersebat di muka bumi. Kemudian pada The Third Annual International Buddhist Seminar yang berlangsung di New York pada tanggal 9 Maret 1974, dicetuskan gagasan untuk mempertautkan semua aliran agama Buddha di bawah nama Ekayana atau Buddhayana.
Dr.Ananda W.P. Guruge (Srilanka), seorang tokoh UNESCO, di Paris pada tahun 1986 dalam ceramah Waisaknya yang berjudul "Universal Buddhism", menyatakan, "Saya meramalkan timbulnya kecenderungan-kecenderungan baru dalam agama Buddha di Barat. Interaksi yang rapat dari berbagai aliran dan sekte yang berbeda akan berakibat saling mempengaruhi. Pakar-pakar Barat telah menyuarakan bahwa mereka lebih menginginkan bentuk agama Buddha yang menggabungkan ketiga Tradisi dari Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Kita mendengar istilah-istilah Triyana (ketiga jalan) dan Buddhayana (jalan Sang Buddha) sebagai nama untuk bentuk gabungan dari agama Buddha. Kita seharusnya tidak merendahkan perkembangan alamiah ini, karena beginilah sebenarnya bagaimana ajaran Buddha berkembang selama 2500 tahun terakhir.
Sumber : milis TPKB ITS Viriya Vijja Surabaya, artikel ini diambil dari booklet Pekan Penghayatan Dhamma (PPD) IV yang diselenggarakan TPKB. Artikel ini berisikan sejarah perkembangan agama Buddha selama 2500 beberapa tahun yang lalu.
================================================
Amitabha,
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar