NAḶINIKĀ-JĀTAKA104
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[193] “Kerajaanku yang terbentang,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang godaan nafsu terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya.
Dan dalam menceritakan kisah tersebut, Beliau menanyakan bhikkhu tersebut disebabkan oleh siapakah ia menjadi menyesal. “Oleh mantan istri saya,” jawabnya. “Sesungguhnya, Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ia membawa kehancuran bagimu. Di masa lampau, disebabkan oleh dirinyalah, Anda terlepas dari jhana dan menjadi sangat hancur.”
Dan setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga brahmana yang kaya raya di bagian utara. Ketika dewasa dan telah mempelajari semua cabang ilmu pengetahuan, ia bertahbis menjadi seorang resi. Ia membangun tempat tinggalnya di daerah pegunungan Himalaya, dan mengembangkan kesaktian melalui jhana.
Sama dengan cara yang telah diceritakan dalam Alambusā-Jātaka105, seekor rusa betina hamil dikarenakan oleh dirinya dan melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Isisiṅga (Isisinga).
Dalam kisah ini, ketika ia dewasa, ayahnya menahbiskannya menjadi seorang pabbajita dan mengajarkan kepadanya meditasi pendahuluan kasiṇa. Dalam waktu yang tidak lama, ia mengembangkan jhana dan kesaktian, dan menikmati kebahagiaan dalam jhana. Dengan melakukan tapabrata, ia menjadi seorang petapa yang demikian bertekad mengendalikan semua indranya sehingga kediamaan Dewa Sakka tergetar disebabkan oleh kekuatan dari praktik moralitasnya tersebut.
Dengan pemindaian, Sakka menemukan penyebabnya, dan dengan berpikir, “Saya akan mencari cara untuk menghancurkan moralitasnya (sila).” Selama tiga tahun lamanya, Sakka menghentikan hujan di Kerajaan Kasi, dan negeri tersebut menjadi panas seperti terbakar api. Dan ketika tidak ada hasil panen yang berhasil, orang-orang yang menderita kelaparan berkumpul bersama di halaman istana, dan menyalahkan raja.
Dengan berdiri di satu jendela yang terbuka, raja menanyakan apa masalahnya. [194] “Yang Mulia,” kata mereka, “Selama tiga tahun tidak ada hujan yang turun dan seluruh daerah kerajaan seperi terbakar, orang-orang menderita. Buatlah hujan turun, Paduka.” Meskipun menjalankan sila dan melaksanakan laku Uposatha, tetapi raja tidak berhasil membuat hujan turun.
Kemudian waktu itu pada tengah malam, Sakka yang masuk ke dalam kamar raja dan menyinari sekelilingnya, terlihat berdiri melayang di udara. Ketika melihatnya, raja bertanya, “Siapakah Anda?” “Saya adalah Sakka,” jawabnya. “Ada apa Anda datang ke sini?” “Apakah ada turun hujan di kerajaanmu, Raja?” “Tidak, tidak ada hujan yang turun di sini.” “Apakah Anda tahu mengapa tidak turun hujan?” “Saya tidak tahu.” “Raja, di daerah Himalaya, tinggallah seorang petapa yang bernama Isisiṅga (Isisinga), yang melakukan tapa-brata dan menjadi petapa yang bertekad mengendalikan semua indranya. Secara berulang-ulang di saat hujan akan turun, ia melihat ke atas (langit) dengan kemarahan, demikianlah hujan berhenti dan tidak turun.” “Apa yang harus dilakukan sekarang?” “Jika praktik moralitasnya hancur, maka hujan akan turun.” “Tetapi siapa yang mampu mengatasi moralitasnya?” “Putrimu, Raja, NaỊinikā (Nalinika) mampu melakukannya. Panggillah ia ke sini dan mintalah ia pergi ke tempat anu untuk menyebabkan kehancuran moralitas sang petapa.”
Setelah memberikan petunjuk kepada raja, Sakka kembali ke kediamannya. Keesokan harinya raja berkonsultasi dengan para penasihat dan menteri kerajaan, memanggil putrinya dan berkata kepadanya dalam bait pertama berikut:
Kerajaanku yang terbentang seperti terbakar api dan akan hancur;Ketika mendengar ini, ia mengucapkan bait kedua berikut:
Pergilah, NaỊinikā, dan semoga kamu
membuat brahmana ini berada dalam kekuasaanmu.
Bagaimana saya dapat melewati kesulitan ini,Kemudian raja mengucapkan dua bait kalimat berikutnya:
bagaimana, di tengah gajah-gajah yang berkeliaran,
melewati lapangan terbuka di hutan sana
saya dapat memandu jalanku dengan aman?
Dapatkanlah tempat tinggalmu yang menyenangkan, Putriku;Demikianlah untuk melindungi kerajaannya raja berkata kepada putrinya, yang seharusnya tidak perlu dikatakan. Dan putrinya pun segera menyetujui permintaan dari sang ayah.
Oleh sebab itu, tanpa menunda lagi, pergilah dengan kereta
yang dibuat dengan demikian bagusnya untuk melewati jalanmu itu.
[195] Kuda, gajah, pengawal kerajaan—pergilah,
dikelilingi oleh pasukan yang berani, dan dengan daya pikat kecantikan,
kamu akan mampu membuatnya jatuh dalam kekuasaanmu.
Setelah memberikan kepada putrinya semua yang dibutuhkan, raja mengantarkan kepergiannya bersama dengan para menteri istana. Mereka sampai di daerah perbatasan dan setelah mendirikan tenda bermalam di sana, mereka meminta bantuan beberapa pemburu untuk menuntun sang putri.
Di saat hari menjelang fajar, mereka masuk ke daerah Himalaya dan tiba di satu tempat yang dekat dengan tempat pertapaan petapa tersebut. Pada waktu itu, Bodhisatta meninggalkan putranya di dalam tempat pertapaan dan pergi ke hutan untuk mencari buah-buahan. Para pemburu tersebut mendekat ke tempat pertapaanya dan dengan berdiri di sebuah tempat sehingga mereka dapat melihatnya, mereka menunjukkannya kepada NaỊinikā (Nalinika) dan mengucapkan dua bait berikut:
Ditandai dengan pohon pisang yang besar,Dan para menteri tersebut, di saat Bodhisatta telah pergi ke hutan, mengelilingi tempat pertapaan itu dan melakukan pengawasan. Dengan membuat putri menyamar sebagai seorang petapa, [196] dan menghiasnya dengan busana petapa, berwarna kuning, yang demikian indahnya dihiasi dengan segala perlengkapannya, mereka memintanya untuk membawa bola berwarna-warni yang terikat dengan benang dan pergi ke tempat pertapaan tersebut, sedangkan mereka berdiri berjaga-jaga di luar.
di tengah pepohonan bhurja106 yang demikian hijau,
itulah terlihat kediaman Isisinga.
Asap di sana, menurutku,
muncul dari kobaran api yang dijaga oleh petapa
yang terkenal memiliki kesaktian itu.
Maka sembari bermain dengan bolanya itu, ia berjalan mengarah masuk ke tempat petapaan tersebut. Kala itu, Isisinga sedang duduk di papan (batu yang lebar dan tipis) di depan pintu gubuknya, dan ketika melihat wanita itu datang, ia menjadi takut, bangkit dari duduknya, dan pergi bersembunyi di dalam gubuk. Wanita itu mendekat ke arah pintu, masih tetap bermain dengan bolanya.
Sang Guru mengucapkan tiga bait berikut untuk menjelaskannya:
Dihiasi dengan perhiasan di saat berjalan mendekat,Kemudian putri itu mengucapkan bait kalimat berikutnya untuk memberitahunya tentang pohon tersebut:
seorang wanita yang cantik nan rupawan,
Isisinga yang malang, mencari perlindungan di dalam bilik kecilnya.
Dan setelah beberapa lama bermain dengan bola di depan pintunya,
wanita itu memperlihatkan tubuh indahnya
kepada sang petapa, tanpa busana.
Ketika melihat Nalinika yang demikian memperlihatkan tubuhnya,
pemuda itu keluar dari bilik kecilnya, dan dengan cepat keluar dari gubuk daunnya,
ia mengucapkan kata-kata berikut.
Buah dari pohon apakah ini, Tuan, yang sejauh apa pun dilemparkan
akan kembali lagi kepadamu dan tidak pernah hilang?
Di dekat Gunung Gandhamādana, tempat saya tinggal,[197] Demikianlah ia berkata bohong, tetapi pemuda itu memercayainya. Dan dengan berpikir bahwa ia adalah seorang petapa, pemuda itu menyapanya dengan ramah dan mengucapkan bait kalimat ini:
menghasilkan banyak pohon membuahkan buah
yang sejauh apa pun dilempar, akan kembali lagi
kepadaku dan tidak pernah hilang.
Silakan masuk ke dalam dan duduk,* * * * *
Terimalah makanan dan air untuk kakimu,
dan istirahatlah sejenak di sini bersamaku;
Akar-akaran dan buah-buahan ini saya berikan kepadamu.
[199]107 [Dikarenakan ia adalah seorang pemuda yang polos dan belum pernah melihat seorang wanita sebelumnya, ia dituntun untuk memercayai kebohongan yang diceritakan kepadanya, dan juga dikarenakan godaan wanita tersebut, silanya menjadi hancur dan keadaan jhana-nya pun lenyap.
Setelah melakukan hubungan seksual dengan wanita itu sampai dirinya merasa lelah, kemudian ia pergi ke kolam untuk mandi. Ketika rasa lelahnya hilang, ia kembali dan duduk di dalam gubuknya. Dan sekali lagi, masih percaya bahwa wanita itu adalah seorang petapa, ia bertanya di mana wanita itu tinggal, dengan mengucapkan bait ini:
Dari jalan mana Anda datang ke sini,Kemudian Nalinika mengucapkan empat bait berikut ini:
dan apakah Anda menyukai rumahmu di daerah belukar itu?
Dapatkah akar-akaran dan buah-buahan membuatmu mengatasi rasa lapar,
dan bagaimana Anda meloloskan diri menjadi mangsa bagi hewan?
Ke sebelah utara dari tempat ini,Ketika mendengar ini, petapa tersebut yang mencoba menunda kepergiannya sampai ayahnya kembali, mengucapkan bait berikut:
Sungai Khemā mengalir lurus dari Himalaya:
Di tepinya, di satu tempat yang menyenangkan,
dapat terlihat gubuk, tempat pertapaanku.
Pohon mangga, sala, tilaka, jambu, beraksa, pāṭali
yang tumbuh bermekaran sempurna108—Semuanya mengeluarkan
nada yang selaras dengan suara kimpurisa (makhluk aneh/semidewa):
Di sinilah, tempat pertapaanku dapat terlihat.
Di sini buah lontar, buah-buahan lain dan akar-akaran,
semua jenis buah dapat dijumpai:
[200] Ini adalah satu tempat yang menyenangkan dan wangi,
yang terlihat menjadi tempat pertapaanku.
Akar-akaran dan buah-buahan berlimpah ruah di sini;
Manis, cantik, dan enak dapat ditemukan semuanya.
Tetapi saya takut, jika penyamun datang,
mereka akan merampasnya.
Ayahku sedang mencari buah-buahan;Kemudian wanita itu berpikir: “Karena dibesarkan di dalam hutan, anak ini tidak tahu bahwa saya sebenarnya adalah seorang wanita, tetapi ayahnya akan mengetahuinya begitu melihat diriku, dan akan menanyakan ada urusan apa saya di sini, dan ia akan menghancurkan kepalaku dengan pemikulnya. Saya harus pergi sebelum ia kembali, dan tujuan kedatanganku sudah terpenuhi,” dan untuk memberitahu pemuda itu bagaimana ia dapat menemukan jalan menuju ke rumahnya, wanita itu mengucapkan bait berikutnya:
Matahari mulai terbenam, ia akan segera kembali.
Ketika ia kembali dari pencarian buahnya,
kita akan pergi bersama ke tempat pertapaanmu.
[201] Saya tidak bisa tinggal lebih lama lagi;Setelah demikian ia merancang rencana untuk melarikan diri, ia meninggalkan tempat pertapaan tersebut dan meminta pemuda itu untuk tetap berada di tempatnya ketika ia, dengan sedih, ingin pergi bersama dengannya. Ia bertemu kembali dengan para menteri melalui jalan yang sama yang dilewatinya ketika pergi, dan mereka membawanya bersama ke tempat perkemahan, kemudian setelah melalui beberapa tahapan, tiba di Benares.
Tetapi ada banyak resi yang tinggal di sepanjang perjalanan,
mintalah salah satu dari mereka untuk menunjukkan kepadamu jalannya;
Ia akan, dengan senang hati, menjadi pemandu ke kediamanku.
Dan pada hari itu juga, Sakka merasa sangat gembira sehingga ia menyebabkan hujan turun di seluruh daerah kerajaan. Akan tetapi segera setelah wanita itu meninggalkannya, demam menyerang badan petapa muda itu dan dengan badan gemetaran ia masuk ke dalam gubuk daunnya, tidur berbaring sambil merintih dengan mengenakan jubah luarnya.
Pada sore hari ayahnya pulang, dan sewaktu merasa kehilangan putranya, ia berkata, “Ke mana perginya dia?” kemudian setelah meletakkan pemikul, ia masuk ke dalam gubuknya. Ketika melihat anaknya berbaring di sana, ia berkata, “Apa yang membuatmu sakit, Anakku?” Dan sambil mengusap punggung anaknya, ia mengucapkan tiga bait berikut:
Tidak ada kayu yang dipotong, tidak ada air yang diambil,[202] Mendengar kata-kata dari ayahnya tersebut, untuk menjelaskan permasalahannya, ia berkata:
tidak ada api yang dinyalakan.
Beritahukan kepadaku, mengapa kamu
hanya tiduran sepanjang hari.
Biasanya kayu sudah dipotong, api sudah dinyalakan,
pot-pot air diletakkan di sana, tempat dudukku sudah disiapkan, air sudah diambil.
Sesungguhnya seperti itu kamu mendapatkan
kebahagiaan dalam tugas-tugasmu.
Hari ini tidak ada kayu yang dibelah, tidak ada air yang diambil,
tidak ada api yang dinyalakan; makanan tidak dapat ditemukan,
hari ini kamu tidak menyambut kepulanganku:
Kamu telah kehilangan apa? Kesedihan apa yang mengganggu dirimu?
Di sini, hari ini, ada seorang pemuda datang,[207] Ketika mendengar anak laki-lakinya membicarakan hal yang kacau-balau yang demikian, Sang Mahasatwa segera mengetahui bahwa ia telah kehilangan moralitasnya disebabkan oleh seorang wanita, dan untuk memberinya nasihat, ia mengucapkan enam bait kalimat berikut:
Seorang anak laki-laki tampan, berpakaian rapi,
dengan sikap yang menawan hati: Ia tidak terlalu tinggi atau pendek,
rambutnya hitam, sehitam warna itu sendiri.
Anak muda ini memiliki pipi yang halus dan tidak ada janggut,
dan di lehernya tergantung satu permata yang berkilau;
Terdapat dua tonjolan indah di dadanya, seperti bola yang dipoles dengan emas,
berkilauan sinar yang murni.
Wajahnya cantik luar biasa, dan di kedua telinganya muncul cincin yang tergantung;
Cincin-cincin ini dan pita di kepalanya mengeluarkan kilauan cahaya, kapan saja ia bergerak.
Masih ada lagi hiasan lain yang dipakai anak muda itu,
warna biru atau merah, baik di pakaian maupun di rambutnya;
Bergemerincing, kapan saja ia bergerak, mereka berbunyi,
seperti burung-burung kecil109 yang berkicau di saat hujan.
Tidak ada jubah dari kulit kayu, tanda dari petapa,
Tidak ada sabuk yang terbuat dari rumput muñja 110 padanya.
[203] Pakaiannya berkilauan, melekat sampai pada paha,
terang seperti cahaya kilat di langit.
Buah dari pohon apa terikat di bawah pinggulnya,
—lembut dan tidak ada gagang ataupun duri?—
Terselip masuk ke dalam jubahnya, tidak ketat tetapi tebal,
mereka saling memukul, menimbulkan bunyi ‘klik’.
Kucir di kepalanya cantik luar biasa, beratus-ratus ikal rambut mengharumkan udara:
Rambut tersebut berpisah tepat di tengah—ditata seperti rambutnya akan menjadi seperti rambutku.
Tetapi ketika rambutnya diuraikan dan lepas dalam segala keindahannya terhembus angin,
Harum semerbaknya mengisi rumah kita di tengah pepohonan hutan,
seperti aroma bunga teratai yang muncul terbawa angin sepoi-sepoi.
Gerak-geriknya bagus untuk dilihat, orangnya tidak sama dengan putramu:
Ia mengeluarkan aroma yang diterbangkan ke semua tempat,
seperti tumbuhan semak yang bermekaran pada udara musim panas.
Buah itu begitu terang dan indah, dengan beragam jenis warna;
Ia melemparnya jauh dari dirinya, tetapi buah itu selalu kembali lagi kepadanya:
Buah apa itu saya ingin mengetahuinya darimu.
Giginya ada dalam baris yang rata, sangat murni dan putih,
bersanding dengan mutiara-mutiara pilihan, suatu pemandangan yang indah;
Kapan saja ia membuka bibirnya, betapa memikatnya!
Tidak ada makanan seperti milik kita, akar-akaran dan daun-daun obatan miliknya!
Suaranya begitu lembut dan halus, tetapi tegas dan jelas
dengan aksen yang terdengar lembut di telinga;
[204] Suaranya menusuk ke dalam hatiku: suatu nada yang begitu manis,
yang tidak pernah keluar dari kerongkongan semerdu burung tekukur.
Saya pikir nadanya lemah, ditekan jauh terlalu rendah bagi seseorang
yang berlatih kehidupan suci di dalam hutan; Walaupun demikian
—begitu besar kebaikannya— saya ingin bersahabat dengan pemuda ini.
Lengan hangatnya yang berkilauan dalam perhiasan emas,
seperti cahaya kilat yang bermain di sekelilingnya. Mereka dibiarkan turun
seperti obat mata yang lembut, mengelilingi jemari tangannya,
dengan berkilauan warna kemerah-merahan.
Badannya halus, rambutnya panjang terurai, kukunya juga panjang
dengan ujungnya yang dicelup warna merah tua:
Dengan lengan lembutnya itu yang melekat erat mengitariku,
anak muda yang baik itu melayaniku untuk membahagiakanku.
Tangannya seputih kapas, bersinar terang seperti kaca
yang memantulkan sinar; Di saat sentuhan lembut mereka mengenaiku,
saya merasakan getaran yang membara, dan meskipun ia telah pergi,
ingatannya masih tetap membara dalam diriku.
Tetapi tidak ada barang bawaan berupa biji-bijian yang dibawanya,
ia juga tidak bisa dengan tangannya sendiri membelah kayu,
tidak juga dengan kapak ia dapat menebang pohon,
tidak juga ia dapat memikul pemikul yang berat, untuk menyenangkan diriku.
* * * * *
[205] Papan kumal ini yang terbuat dari dedaunan tumbuhan menjalar
menjadi saksi bagi canda gurau bahagia (kenikmatan) yang kami mainkan:
Kemudian di dalam danau sana, kami cuci badan kami yang lelah
dan kembali di dalam rumah, kami beristirahat.
Hari ini tidak ada paritta suci yang kubaca,
tidak ada api yang dinyalakan untuk persembahan:
Dari semua akar dan buah, saya akan berpantang, sampai saya melihat
orang yang menapaki kehidupan suci ini lagi.
Beritahu padaku, Ayah,
karena Anda mengetahuinya dengan baik,
di manakah di dunia ini pemuda tersebut mungkin bertempat tinggal;
Dan ke sana dengan kecepatan penuh, mari kita pergi,
atau di depan pintumu, kematianku akan pasti terjadi.
Saya telah mendengarnya berbicara tentang lapangan terbuka,
dengan bunga-bunga kecil yang riang, dan dikerumuni oleh burung-burung
yang berkicau sepanjang hari; Ke tempat ini dengan kecepatan penuh
saya ingin terbang, atau di sini saya akan segera berbaring dan mati.
Sebuah tempat tinggal tua bagi para resi,[209] Setelah mendengar apa yang dikatakan ayahnya, anak muda itu berpikir, “Ia adalah seorang yaksa wanita, katanya,” dan ia menjadi takut, ia menghilangkan pemikiran tentang diri wanita tersebut. Kemudian ia meminta maaf dari sang ayah dengan berkata, “Maafkan saya, Ayah, saya tidak akan meninggalkan tempat ini.”
telah lama ada di daerah yang disinari oleh matahari dari hutan ini;
[208] Dengan ditemani oleh para pemusik dan bidadari surgawi,
perasaan yang tiada letih ini tidak akan pernah menjadi milikmu.
Persahabatan muncul dan kemudian itu akan hilang;
Semua orang menunjukkan cinta kasih kepada keluarganya sendiri;
Tetapi mereka, makhluk dungu, yang tidak mengetahui kepada siapa,
asal dan cinta kasih, mereka itu berhutang.
Persahabatan terbentuk oleh hubungan
yang terus-menerus; Ketika hubungan ini putus,
persahabatan akan berhenti jua.
Jika kamu melihat orang ini sekali lagi
atau berbincang dengannya, sama seperti hari ini,
Seperti air banjir yang menyapu hasil panen,
maka kekuatan dari silamu akan hilang kembali.
Makhluk halus (bhūta) yang menghuni dan berada di bumi
berkeliaran menyamar dalam rupa yang beraneka ragam.
Waspadalah, Anakku!
Ia yang bijak tidak akan berpasangan
dengan orang demikian; Kehidupan suci
akan musnah karena sentuhan mereka.
Dan ayahnya menghibur dirinya dengan berkata, “Mari, Anakku, kita kembangkan rasa cinta kasih, belas kasihan, bela suka, dan keadaan tenang seimbang,” dan demikian ia menguraikan kepada anak muda itu tentang Empat Kediaman Luhur. Dan putranya itu, hidup sesuai dengan itu, sekali lagi mengembangkan jhana dan kesaktian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar